Miris sekaligus memilukan! Satu keluarga di Gampong Ulee Reuleueng, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara terpaksa tinggal di gubuk yang hampir roboh yang berada di atas lahan orang lain (pinjaman).
Bakhtiar Beni tinggal bersama istrinya Anisah dan 11 anaknya yang hidup serba kekurangan di rumah tersebut.
Rumah dengan ukuran 3×4 meter terlihat sudah miring hampir roboh dengan dindingnya dari anyaman bambu, beratap daun rumbia, dan berlantai tanah.
Tidak ada kamar pembatas antara dapur dengan tempat tidur, tidak seperti halnya rumah orang-orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas.
Anisah yang pernah melahirkan 13 anak dikenal dengan sebutan “Kak Lhee Blah” oleh masyarakat di desa setempat.
Anak perempuannya ada empat orang dan laki-laki tujuh orang, semuanya tinggal dalam satu rumah. Sementara dua putrinya yang lain telah meninggal dunia.
Tiga anak perempuannya terpaksa berhenti sekolah dan hanya tamatan sekolah dasar karena faktor ekonomi keluarga, kemudian tujuh anak laki-laki lainnya saat ini sedang menempuh pendidikan di tingkat MIN dan SMP.
Sedangkan satu anak perempuan yang bungsu saat ini menjalani pendidikan di sekolah taman kanak-kanak.
Dilansir dari media aceHTrend, Sabtu (2/5/2020), dari riwayat kehidupannya, Bakhtiar adalah perantau dari Simpang Ulim, Aceh Timur.
Lima tahun lalu ia merantau ke desa tersebut dan tinggal di tanah milik orang lain dengan kepemilikan tanah dan rumah adalah hak pakai tanpa surat perjanjian.
Untuk menghidupi keluarganya sehari-hari, Baktiar bekerja sebagai kuli bangunan dan istrinya bekerja sebagai buruh cetak batu bata yang berada di samping rumah yang dia tinggali.
“Saya hanya berusaha semampu saya, pendapatan per hari dibilang cukup emang tidak pernah cukup, karena harus memenuhi kebutuhan pokok dan anak-anak sehari-hari,” kata Bakhtiar dengan wajah lesu.
Namun, dia tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya, tidak pernah mengeluh dan menjalani kehidupan dengan terus berusaha dan berdoa.
“Saya hanya bisa bersyukur aja apa yang saya dapatkan hari ini, jika saya terlalu melihat ke atas maka saya akan melakukan tindakan yang dilarang dalam agama,” imbuh Bakhtiar.
Geuchik Ulee Reuleung, Abdullasi menyebutkan pihaknya telah memberi perhatian lebih kepada Bakhtiar dengan membantu sumbangan beras dan berbagai kebutuhan pokok lainnya, bahkan pihaknya memberi pekerjaan tambahan kepadanya dengan mengangkat sebagai bilal di meunasah.
“Pada tahun lalu pernah mengajukan permohonan ke Baitul Mal Aceh, tetapi setelah disurvei yang bersangkutan tidak memiliki tanah, hingga batal dibangun rumah untuk beliau. Dan jika ada lahan kami aparatur desa juga siap bangun dengan dana desa,” tuturnya.
Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA), Cut Meutia Suryani, yang pertama menemukan keluarga tersebut saat membagikan sembako Covid-19 dan menyampaikan keprihatinannya atas kondisi kehidupan keluarga Bakhtiar.
“Kami ikut prihatin, makanya kami hari ini kembali untuk menjumpai keluarga tersebut bersama Kepala RRI, Camat Dewantara, dan rekan-rekan dari media,” imbuhnya.
Suryani menyebutkan, setelah sempat viral di media sosial, untuk tanah dan rumah Bakhtiar akan dibangun oleh anggota DPRA Darwati A Gani.
“Kami juga membuka donasi untuk membantu keluarga tersebut dengan memberikan modal usaha dikarenakan tanah dan bangunan rumah sudah dibantu oleh Ibu Darwati dengan luas tanah 10×15 meter,” tambahnya.
Bagi yang ingin menyelurkan bantuan berupa uang tunai, Suryani mengatakan pihaknya telah membuka rekening BNI 0944266616 atas nama Forum Puspa Cut Meutia Aceh Utara, dan untuk informasinya bisa menghubungi pihaknya di nomor ponsel 08126962174.
Bakhtiar Beni tinggal bersama istrinya Anisah dan 11 anaknya yang hidup serba kekurangan di rumah tersebut.
Rumah dengan ukuran 3×4 meter terlihat sudah miring hampir roboh dengan dindingnya dari anyaman bambu, beratap daun rumbia, dan berlantai tanah.
Tidak ada kamar pembatas antara dapur dengan tempat tidur, tidak seperti halnya rumah orang-orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas.
Anisah yang pernah melahirkan 13 anak dikenal dengan sebutan “Kak Lhee Blah” oleh masyarakat di desa setempat.
Anak perempuannya ada empat orang dan laki-laki tujuh orang, semuanya tinggal dalam satu rumah. Sementara dua putrinya yang lain telah meninggal dunia.
Tiga anak perempuannya terpaksa berhenti sekolah dan hanya tamatan sekolah dasar karena faktor ekonomi keluarga, kemudian tujuh anak laki-laki lainnya saat ini sedang menempuh pendidikan di tingkat MIN dan SMP.
Sedangkan satu anak perempuan yang bungsu saat ini menjalani pendidikan di sekolah taman kanak-kanak.
Dilansir dari media aceHTrend, Sabtu (2/5/2020), dari riwayat kehidupannya, Bakhtiar adalah perantau dari Simpang Ulim, Aceh Timur.
Lima tahun lalu ia merantau ke desa tersebut dan tinggal di tanah milik orang lain dengan kepemilikan tanah dan rumah adalah hak pakai tanpa surat perjanjian.
Untuk menghidupi keluarganya sehari-hari, Baktiar bekerja sebagai kuli bangunan dan istrinya bekerja sebagai buruh cetak batu bata yang berada di samping rumah yang dia tinggali.
“Saya hanya berusaha semampu saya, pendapatan per hari dibilang cukup emang tidak pernah cukup, karena harus memenuhi kebutuhan pokok dan anak-anak sehari-hari,” kata Bakhtiar dengan wajah lesu.
Namun, dia tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya, tidak pernah mengeluh dan menjalani kehidupan dengan terus berusaha dan berdoa.
“Saya hanya bisa bersyukur aja apa yang saya dapatkan hari ini, jika saya terlalu melihat ke atas maka saya akan melakukan tindakan yang dilarang dalam agama,” imbuh Bakhtiar.
Geuchik Ulee Reuleung, Abdullasi menyebutkan pihaknya telah memberi perhatian lebih kepada Bakhtiar dengan membantu sumbangan beras dan berbagai kebutuhan pokok lainnya, bahkan pihaknya memberi pekerjaan tambahan kepadanya dengan mengangkat sebagai bilal di meunasah.
“Pada tahun lalu pernah mengajukan permohonan ke Baitul Mal Aceh, tetapi setelah disurvei yang bersangkutan tidak memiliki tanah, hingga batal dibangun rumah untuk beliau. Dan jika ada lahan kami aparatur desa juga siap bangun dengan dana desa,” tuturnya.
Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA), Cut Meutia Suryani, yang pertama menemukan keluarga tersebut saat membagikan sembako Covid-19 dan menyampaikan keprihatinannya atas kondisi kehidupan keluarga Bakhtiar.
“Kami ikut prihatin, makanya kami hari ini kembali untuk menjumpai keluarga tersebut bersama Kepala RRI, Camat Dewantara, dan rekan-rekan dari media,” imbuhnya.
Suryani menyebutkan, setelah sempat viral di media sosial, untuk tanah dan rumah Bakhtiar akan dibangun oleh anggota DPRA Darwati A Gani.
“Kami juga membuka donasi untuk membantu keluarga tersebut dengan memberikan modal usaha dikarenakan tanah dan bangunan rumah sudah dibantu oleh Ibu Darwati dengan luas tanah 10×15 meter,” tambahnya.
Bagi yang ingin menyelurkan bantuan berupa uang tunai, Suryani mengatakan pihaknya telah membuka rekening BNI 0944266616 atas nama Forum Puspa Cut Meutia Aceh Utara, dan untuk informasinya bisa menghubungi pihaknya di nomor ponsel 08126962174.