Presiden Joko Widodo dijadwalkan, Sabtu 22 Februari 2020 menghadiri acara ‘Kenduri Kebangsaan’ di Sekolah Sukma Bangsa, Desa Cot Keutapang, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen
Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Sukma Bangsa di Desa Cot Keutapang mengikutsertakan sejumlah menteri, sehingga acara ‘Kenduri Kebangsaan’ akan berlangsung khidmat bisa membawa nilai positif kepada Kabupaten Bireuen.
Untuk menjamu para undangan yang akan menghadiri acara ‘Kenduri Kebangsaan’, pihak panitia tentunya sudah mempersiapkan semua keperluan, tak kecuali umbul-umbul dan spanduk kegiatan terlihat sudah dipasang di sejumlah ruas jalan. Selain itu disebut telah disediakan beberapa ekor sapi yang akan dipotong untuk bahan baku ‘kuah-beulangong’.
Sekolah Unggul Sukma Bangsa di Desa Cot Keutapang sebagai tempat pegelaran ‘Kenduri Kebangsaan’ itu berada di kawasan pinggir kota. Lokasi ini kita pastikan merupakan daerah bebas pencemaran asap kenderaan bermotor.
Mungkin ada yang masih asing dengan Kota Bireuen. Misal saja pejabat atau tamu dari luar Provinsi Aceh. Namun, hal seperti itu dipastikan tidak akan dialami oleh Bapak Jokowi. Kota Bireuen bagi Jokowi sudah seperti kampung halaman sendiri, karena beliau sebelumnya sudah sering melintas yaitu ketika masih menjadi pegawai PT KKA Lhokseumawe.
Dikutip dari pemberitaan media, sebelum menjadi orang nomor satu di republik ini, Pak Jokowi sering bolak-balik Lhokseumawe – Bener Meriah dengan melintas Kota Bireuen. Pak Jokowi mengaku sering singgah di Rumah Makan Norma, di jalan Bireuen- Takengon di Desa Juli Cot Meurak, sehingga beliau dipastikan sudah hafal Kota Bireuen.
Sejarah Bireuen
Julukan Kota Juang yang ditabalkan untuk Kabupaten Bireuen menarik untuk ditelusuri asal usulnya. Terlebih masih banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka yang mengaku orang Bireuen sekali pun.Tgk Sarong Sulaiman, seorang pelaku sejarah dan pejuang yang sekarang berusia 110 tahun, yang berdomisili di Desa Keude Pucok Aleu Rheng, Peudada Bireuen, saat ditemui Narit di rumahnya, kelihatan masih sehat dan ingatannya pun masih kuat.
Menurut Kepala Badan Statistik (BPS) Aceh, Syeh Suhaimi kepada Narit, Tgk Sarong merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup.
“Beliau merupakan seorang pejuang kemerdekaan negara ini, bahkan terlibat langsung dalam masa pergerakan melawan penjajahan Belanda dulu,” kata Syeh Suheimi saat melakukan sensus penduduk di Bireuen beberapa bulan lalu.
Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh
Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Kakek Sarong yang terlihat masih bugar dengan lancar menceritakan sejarah Aceh pada umumnya dan Bireuen khususnya.
Masjid Agung Bireuen |
Tgk Sarong pernah menjadi komandan pertempuran Medan Area tahun 1946, yang saat itu diberi gelar Kowera (Komandan Perang Medan Area).
Ayah tiga anak dan sejumlah cucu ini, pernah ditawarkan menjadi guru ngaji di Arab Saudi, ketika dirinya bersama istri menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 60-an. Namun, tawaran itu ditolaknya karena sayang pada sang istri yang harus pulang ke Aceh tanpa pendamping.
“Itu romansa masa lalu. Tapi, di sini (Aceh-red) saya juga menjadi guru ngaji he he he…,” katanya sambil terkekeh
Menurut pelaku sejarah yang lancar berbahasa Arab dan Inggis ini, “Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh.
Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati sekarang. Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan Belanda.
Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen mulai dikenal,” kata pria berkulit sawo matang yang mengaku pernah jadi guru Bahasa Arab di sebuah sekolah di Aceh tempoe doeloe.
Dengan penuh semangat, Tgk Sarong Sulaiman menceritakan, sebelum Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu namanya Cot Hagu. Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen. “Jadi Bireuen itu bukan asal katanya dari bi reuweueng (memberi ruang/ lowong atau celah), tetapi, Birrun itulah asal kata nama Kota Bireuen sekarang,” kata pria yang mengaku pernah berhasil memukul mundur pasukan Kolonial Belanda, saat bertempur melawan penjajahan dulu.
Asal usul Julukan Kota Juang
Adapun mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut keterangan para orang tua-tua di Bireuen, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda.
“Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno,” kata almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen.
Narit berkunjung ke kediamannya sebelum almarhum dipanggil Yang Maha Kuasa.
Bahkan katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. “Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen,” paparnya bersemangat.
Saat itu, katanya, dibawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, pernah menjadi kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef.
“Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai Kota Juang,” katanya.
Presiden Soekarno, lanjut Yusuf Tank, juga pernah mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen yang sekarang.
“Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut.
Akhirnya Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara khusus Dakota.yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot Gapu,” kisahnya sambil menerawang.
Saat itu Soekarno disambut para tokoh Aceh diantaranya, Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat bahkan ratusan pelajar Sekolah Rakyat (SR) dan malam harinya diselenggarakan leising (rapat umum) akbar.
Dalam rapat itu Soekarno yang dikenal singa podium Asia dalam pidatonya membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen apalagi pada saat itu mengatakan bahwa Belanda telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara).
Setelah itu Kemiliteran Aceh, dari Banda Aceh dipindahkan ke Juli Keude Dua di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef dengan membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo.
“Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran Bireuen letaknya sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur (sekarang Sumut-red),” kisah Yusuf Tank.
Lalu Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank di bawah pimpinan dirinya, yang memiliki puluhan unit mobil tank hasil rampasan dari tentara Jepang.
Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area dan juga di zaman Revolusi 1945, Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), pernah dipusatkan di Juli Keude Dua sekarang ini.
“Aceh yang tak pernah mampu dikuasai Belanda dan Aceh juga adalah daerah modal Indonesia,” katanya penuh emosi.
Setelah seminggu berada di Bireuen, kemudian Soekarno bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh) untuk mengadakan pertemuan dengan para saudagar Aceh di Hotel Atjeh, di sebelah selatan masjid Raya Baiturrahman.
Dalam pertemuan itu Soekarno ‘merengek’ kepada masyarakat Aceh untuk menyumbang dua pesawat terbang untuk negara. Siang itu Presiden Soekarno sempat tidak mau makan sebelum menadapat jawaban dari Tgk Daud Beureu’eh.
Setelah berembug lagi para saudagar Aceh lalu diputuskan bersedia menyumbang dua pesawat terbang sebagaimana diminta Soekarno, lalu masyarakat Aceh dengan cepat mengumpulkan uang yang akhirnya mampu dibeli dua peswat yaitu Seulawah I dan Seulawah II.
Dua pesawat itu juga merupakan cikal bakal lahirnya pesawat Garuda Indonesia Airways dan Radio Rimba Raya di Kawasan Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya yang mengudara ke seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan beberapa bahasa asing juga merupakan cikal bakal RRI sekarang ini.
“Dan itu juga bagian dari radio perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” pungkas mantan pejuang Letnan Yusuf Tank.
Dilansir dari Realitasonline.com dan Seputaraceh.com