Abu Tumin Blang Bladeh, pimpinan Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh. Tgk. H. Muhammad Amin atau lebih akrab disapa dengan sebutan Abu Tumin merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh, lahir di desa Kuala Jeumpa, kemukiman Blang Bladeh Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen pada tanggal 17 Agustus 1932.
Abu Tumin menikah pada hari Jum’at 13 Rajab 1384 dari pasangan Ayah Tgk. H. Mahmud Syah dan ibu Khadijah. Istri Abu Tumin Ummi Mujahidah.
Dari pernikahannya ini lahirlah anak-anaknya : Khairiyah Faridah Amirullah Syahirman Haidar Syahminar Muhammad Khadijatul Mutsanna Marhaban Isyatul Mardhiah.
Terlahir dengan mewarisi darah ulama dan menjejakkan kaki pertamanya di bumi juga di tanah Dayah yang dipimpin oleh kakeknya Tgk. H. Hanafiah, seolah menjadi sugesti bagi Tgk. Muhammad Amin muda untuk terus bergelut dengan ilmu pendidikan agama.
Karenanya semenjak kecil beliau sudah memperlihatkan minat besar dalam belajar agama. Kala itu beliau belajar agama langsung pada orang tuanya Tgk. H. Mahmudsyah (Tgk. Muda) dan kakeknya Tgk. H. Hanafiyah (Tgk. Tua) di samping itu beliau juga belajar pendidikan formal di Vervolkschule.
Setelah beberapa lama belajar di dayah kakeknya, sampailah Tgk. Muhammad Amin muda pada kesimpulan untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi, akhirnya ia memilih untuk menempuh perjalanan religius nya ke kawasan selatan Nanggroe Aceh Darussalam tepatnya di daerah Labuhan Haji, tempat dimana Al-Mukarram Syekh H. Muhammad Muda Wali Al-Khalidy (Abuya Muda Wali) mengasuh sebuah Dayah Salafi yang kelak melahirkan ratusan ulama yang tersebar di seluruh Aceh maupun luar Aceh.
Di antara deburan ombak dan hembusan angin pantai Samudera Hindia, di sanalah Tgk. Muhammad Amin muda dan ratusan santri lainnya mendapat transferan ilmu dari Abuya sebelum akhirnya beliau kembali ke Negeri Jeumpa pada tahun 1960 untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dayah warisan kakeknya yang sudah berdiri sejak tahun 1890.
Dayah yang berlokasi satu komplek dengan dengan masjid Jami’ kemukiman Blang Bladeh ini pada awalnya belum mempunyai nama, hanya dikenal dengan sebutan “Rangkang”. Baru di masa kepemimpinan Abu Tumin dayah tersebut beliau beri nama dengan Al-Madinatuddiniyah Babussalam.
Semenjak kepemimpinan beliau, Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terlihat pada acara Haul perayaan 57 tahun berdirinya Dayah tersebut yang diselenggarakan pada tanggal 21 Mei 2017 di komplek Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh dari beberapa waktu yang lalu, di mana ribuan alumni dari berbagai daerah dan kalangan memadati Komplek Dayah untuk mengikuti acara dengan penuh khidmat.
Saat ini dayah tersebut menampung sekitar 1.300 santri Putra dan 890 santri putri yang dikarantinakan pada dua lokasi terpisah. Al-Madinatuddiniyah Babussalam Putra berdiri di atas tanah dengan luas 1 hektar, terletak di desa Kuala Jeumpa. Sementara Al-Madinatuddiniyah Babussalam Putri terletak di Desa Blang Bladeh dengan luas area 800 Meter persegi.
Di sela-sela rutinitas dalam mengasuh Dayah, beliau juga terlibat aktif dalam berbagai forum dan kegiatan. Sebut saja dalam bidang diskusi keagamaan atau muzakarah misalnya, beliau dan ulama-ulama Aceh lainnya selalu berada di panggung utama sebagai pemateri untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi ummat.
Sebagai salah satu ulama sepuh di Aceh, beliau terlihat sangat loyal terhadap Mazhab Syafi’i, di mana beliau tetap bersikukuh untuk berpegang dengan pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’i sekalipun harus berbeda dengan sebagian ulama lainnya, seolah beliau ingin berpesan kepada kita : “beginilah seharusnya bermazhab”.
Di organisasi, beliau aktif di Dewan Majelis Syuyukh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, Majelis Syura Inshafuddin Provinsi Aceh, Penasehat Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan beliau juga tercatat bersama 7 ulama lainnya sebagai Anggota Majelis Tuha Peuet Lembaga Wali Nanggroe Aceh periode 2016-2021.
Di samping aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, Abu Tumin juga sangat peduli dalam hal berbangsa dan bernegara. Dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau masih menyempatkan diri menganalisa keadaan bangsa dan memberikan solusinya.
Sebagaimana yang dimuat di beberapa media, pernah suatu ketika Abu diajukan pertanyaan oleh wartawan tentang kondisi Aceh hari ini, dengan bahasa filosofinya yang sederhana tapi sarat dengan makna Abu menjawab : “Malakat kana lam jaroe, tuah kana bak droe, tapi lagee-lagee hana ta tu’oh peutimang” maksudnya “perdamaian dengan segala hal yang melekat di dalamnya, seperti MoU Helsinki dan UUPA adalah salah satu malakat dan tuah yang dimiliki Aceh saat ini dan ini menjadi jembatan untuk Aceh menuju masa depan yang lebih cemerlang, tapi sepertinya keistimewaan tersebut malah kita sia-siakan”.
Lebih lanjut Abu menuturkan saat ini Aceh membutuhkan sosok pemersatu yang mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat dan sanggup memupuk persatuan antara ulama dan Umara dalam membangun Aceh, seperti yang telah dipraktikkan oleh indatu kita pada masa Iskandar Muda.
Ketika ulama dan Umara berjalan sendiri-sendiri maka dengan sendirinya umat akan terkotak menjadi dua bagian. Tetapi ketika ulama dan umara sudah bersatu maka yang lahir hanyalah satu keputusan dan umat pun akan bersatu dalam satu keputusan.
Pada masa Iskandar Muda, ulama dan umara bersanding untuk membangun Aceh bukan malah bersaing maka lahirlah istilah “Adat bak Poe Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” sebagai simbol persatuan dua kekuatan yaitu umara dan ulama.
Padahal, masih menurut Abu “watak masyarakat Aceh dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, yang berubah adalah perangai nya disebabkan pengaruh budaya Global”.
Kemudian beliau merincikan tiga macam watak masyarakat Aceh yaitu : Geunaseh (pengasih) Seutia (setia) Beuhe (berani).
Sebagai ulama kharismatik yang lahir sejak masa penjajah, Abu Tumin menilai, ketiga watak yang melekat pada masyarakat Aceh ini merupakan aset yang bisa kita gunakan sebagai landasan untuk embangun aceh.
Tapi Aceh yang tidak dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian kecil, sehingga identitasnya hilang papar beliau. Karenanya, dalam banyak kesempatan beliau selalu mengingatkan tentang pentingnya persatuan, lebih-lebih lagi persatuan antara ummat dan ulama. Beliau sangat mengecam oknum-oknum yang ingin memisahkan ummat dari ulama.
Sebagaimana yang pernah beliau sampaikan dalam Acara Muzakarah Ulama se-Aceh yang diadakan di Paya Pasi tahun 2016 silam.
Kata beliau “Apabila ada pihak-pihak yang hendak memisahkan masyarakat muslimin Aceh dengan ulama, nyan beuneuteupue racon bagi droneuh, nyoe peusan, nyoe peusan, nyoe peusan dari ulon tuan”, lanjut beliau lagi “apabila teuma masyarakat nyoe ka meupisah ngon ulama, yang poh ulama adalah ureueng Aceh sendiri” tutur beliau di depan ratusan masyarakat pada acara tersebut.
Kepedulian dan kepiawaian belia dalam segala bidang ini membuat sosok Abu Tumin dijadikan rujukan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah Aceh, bahkan dari kalangan apapun ketika berkunjung ke Aceh, serasa belum lengkap jika belum bersilaturrahmi dengan beliau.
Kini diusianya yang senja, beliau masih nampak sehat dan segar. Pendengarannya masih sangat jelas, penglihatannya tajam dan pemikirannya pun cukup jernih. Kita berharap semoga beliau senantiasa diberikan umur panjang dan selalu sehat dalam mendampingi ummat fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Aamiin… (sumber: FB Babul Barakah Al-Munawwarah)