GfO5Tfd5TfO8BSr9GpdpGpW7Td==

Sejarah Asal muasal Wakaf Habib Bugak Asyi

Sejarah wakaf Habib Bugak 

Seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.

habib bugak
Habib BUgak Al Asyi



Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah.

Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah.

Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam.

Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah berupa 2 buah aset, hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.

hotel habib bugak



Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap.

Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 milyar rupiah.

Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 milyar rupiah.

hotel habib bugak



Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, walau beliau sudah wafat. Demikian pula belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau.

Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof.Dr. Al Yasa’ Abubakar melalui sms perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah.

Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.

Karena terdorong oleh kehebatan karomah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau.

makam habib bugak
Makam Habib Bugak


Karena menurut penulis beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karomahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan.

Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.

Bugak Asyi, Asal Habib Bugak


Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri dari huruf: ba, waw, kaf, alif dan hamzah.

Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800an, atau tahun dibuatnya ikrar waqaf.

Menurut penelusuran penulis, untuk saat ini ada beberapa yang berkaitan dengan Bugak. Pertama, Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua di Kabupaten Bireuen.

Menurut mantan Bupati Bireuen, Mustafa A.Glanggang, daerah Bugak tanpa tambahan kata di muka atau belakang, hanya terdapat di wilayah Bireuen saja dan tidak ada terdapat di wilayah/kabupaten lainnya.

Menurut sejarahnya, Bugak (sekarang jadi bagian kecamatan Jangka) dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu.

Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar dan lainnya.

Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cop sekureng, disebutkan sebuah wilayah bernama Bugak yang menjadi wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.
latar belakang makam habib bugak


Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya, yang sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai sekarang yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan Peusangan, kecamatan Jangka dan kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.

Kedua, Kuala Bugak, terletak di Peurelak Aceh Timur. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan dasar-dasar yang menguatkan bahwa wilayah ini yang sebut Bugak.

Disamping karena ada tambahan Kuala di depannya, kehidupan sosial masyarakatpun di sekitar Kuala Bugak tidak mendukung fakta.

Setelah mengadakan survey di sekitar Kuala Bugak, penulis bertambah yakin, bahwa Kuala Bugak bukanlah daerah yang dimaksud, karena di sekitar daerah tersebut tidak terdapat situs atau peninggalan dari seorang Habib atau keturunan Rasulullah yang memiliki peranan besar.

Penulis hanya menemui beberapa keturunan sayyid yang tinggal sebagai nelayan empat generasi lalu, yang berasal dari Malaysia. Kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan juga tidak menggambarkan peran Kuala Bugak sebagai sebuah pusat perekonomian pada masa itu.

Ketiga, Bugak-Bugak lain. Diantaranya ada yang menyebutkan Matang Buga, dan lainnya. Namun sejauh ini penulis belum mendapat fakta yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.

Dengan kata lainnya, tidak adanya dasar fakta yang dapat mengaitkannya sebagai wilayah yang dinamakan Bugak, sebagaimana dimaksud pada ikrar waqaf tersebut.

Berdasarkan beberapa hasil survey dan analisisnya tersebut di atas, maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa Bugak yang terdapat di sekitar kecamatan Jangka, adalah wilayah yang memiliki peluang besar sebagai Bugak yang disebutkan pada perjanjian ikrar waqaf tersebut. Disamping analisis di atas, ada beberapa fakta yang memperkuat dugaan tersebut sebagaimana akan dibahas selanjutnya.

Habib dan Keturunannya di Bugak


Masayarakat Nusantara, khususnya di Aceh telah memberikan gelar Habib kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.

Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim.

Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.

Masyarakat yang bukan keturunan Rasulullah, tidak akan diberikan gelar Habib, bahkan mereka tidak biasa atau tidak berani memakai gelar terhormat tersebut. (Lihat pembahasan sebelumnya menurut Snouck dan Muhammad Said)

Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak keturunan Sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi.

Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu. Menurut penelitian dan penelusuran penulis, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi.

Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi 8 generasi.

Menurut beberapa Orang Tuha dan Tgk. Imeum di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah salah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan.

Hal ini diperkuat dengan dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H/ 1825 M yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.

Kunyah Habib Abdurrahman = Habib Bugak


Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya.

Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.

Menurut penelitian penulis di sekitar Bugak dan wilayah yang berhampiran dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi, karena beliau adalah Teungku Chik dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya.

Dan sampai saat ini belum penulis temukan seorang Habib yang memakai kunyah Habib Bugak kecuali kepada Habib Abdurrahman bin Alwi.

Masa Hidup Habib Abdurrahman Berdekatan Dengan Ikrar Waqaf


Ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun waqaf di buat pada tahun 1222 H. Bahkan ada dokumen Sultan yang menyebutkan kuasa Habib pada tahun 1224 H.

Waqif adalah Habib Hartawan-Dermawan Dari Bugak


Sebagaimana dinyatakan Dr. Al Yasa’, bahwa waqif mestilah seorang Habib dari Bugak yang hartawan lagi dermawan. Harta waqaf di Mekkah tersebut boleh jadi beliau beli lalu diwaqafkan atau memang harta warisan nenek moyang beliau dan beliau waqafkan mengingat banyaknya nikmat yang diperoleh di Aceh.

Menurut penelusuran penulis, di daerah Bugak dan sekitarnya, belum ditemukan dari kalangan Habib yang melebihi Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi serta anak keturunannya dalam hal kehormatan maupun kehartawanannya.

Hal ini dibuktikan oleh beberapa dokumen yang ditandatangani Sultan Aceh yang menyebut wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Habib Abdurrahman dan keturunannya.

Sebagai orang yang terpandang, berpangkat serta dekat dengan Sultan, tentulah beliau memiliki banyak konsesi yang diberikan Sultan atau para uleebalang kepada beliau yang menjadikan beliau sebagai salah seorang hartawan di Bugak dan sekitarnya pada masa itu.

Hal serupa juga disampaikan oleh keturunan beliau dan diperkuat dengan dokumen Kesultanan.

Namun pada zaman revolusi sosial, terutama pasca perang cumbok antara uleebalang dengan ulama, banyak harta benda miliki uleebalang yang disita para ulama, termasuklah tanah-tanah yang selama ini di bawah kendali Habib Abdurrahman.

Jika dibandingkan harta yang diperolehnya ketika berada di Aceh, maka tentu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta warisan yang beliau tinggalkan di Mekkah pada zaman itu.

Dan pada umumnya mereka yang datang dari Arab yang penuh padang pasir dan sudah tinggal di Aceh, akan tetap memilih tinggal di sini, tentu karena alamnya bagaikan surga.

Mungkin inilah salah satu yang menjadi pertimbangan Habib Bugak mewaqafkan hartanya di Mekah karena ketertarikan yang besar kepada alam Aceh.

Maka adalah sangat wajar apabila beliau mewaqafkan hartanya di Mekah, namun khusus untuk kepentingan masyarakat Aceh, tempat beliau mendapat kenikmatan yang besar.


sumber: http://habibbugak.blogspot.com/

Comments0

Type above and press Enter to search.