GfO5Tfd5TfO8BSr9GpdpGpW7Td==

Legenda Paya Nie

Legenda Paya Nie
Foto Paya Nie diambil dari Bukit Cot Mirahpati

Suatu ketika di sebuah perkampungan terpencil di Aceh tepatnya di kecamatan Kuta Blang kabupaten Bireuen sekarang tinggallah seorang perempuan tua bernama Cut Nie. Cut Nie adalah perempuan yang sangat taat beribadah dan selalu berbuat baik kepada sesama. Ia tidak pernah melakukan hal buruk sepanjang hidupnya.

Ia memiliki seorang putri bernama Putroe Nie. Ia pernah bernazar ketika putrinya itu lahir bahwa ia akan menjaganya dan menjauhkannya dari godaan dunia luar bahkan anaknya tidak pernah diizinkan keluar dari rumah. Ia takut putrinya akan terpengaruh oleh lingkungan yang buruk.

Putroe Nie tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang amat cantik. Melihat putrinya yang semakin dewasa, Cut Nie ingin menikahkan putrinya dan membina sebuah keluarga. Ia mempersiapkan semua kebutuhan untuk pesta perkawinan anaknya itu, sedangkan sang putri masih saja dilarang keluar rumah sampai datangnya hari pernikahannya. Ibunya mengingatkan agar putrinya tidak boleh keluar rumah, bila tidak maka sesuatu yang buruk akan terjadi kepada mereka.

Pada suatu pagi yang cerah dimana hari pernikahan putrinya semakin dekat, Cut Nie membentangkan tikar di halaman depan rumahnya. Ia menjemur gabah hasil sawahnya agar bisa ditumbuk untuk jamuan makan pada hari pernikahan anaknya nanti.
Selesai menjemur, Cut Nie pamit kepada putrinya untuk pergi membeli keperluan di pasar. Sebelum pergi, ia menyuruh putrinya menjaga gabah yang dijemur itu agar tidak dimakan binatang ternak. Ia kembali mengingatkan agar putrinya tidak boleh keluar rumah dan menginjakkan kakinya ke tanah saat ibunya keluar.

“Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh menginjakkan kakimu ke tanah,nak! Kalau tidak maka kita akan tertimpa malapetaka” pesan Cut Nie pada putrinya.

Sepeninggal ibunya ke pasar, Putroe Nie duduk di tangga rumahnya menunggu ibunya pulang sambil bernyanyi. Tiba-tiba beberapa ekor ayam mulai mematuk gabah mereka. Ia mencoba mengusir ayam-ayam itu namun tak jua pergi. Putroe Nie ia masih ingat pesan ibunya agar tidak boleh keluar dari rumah dan menyentuh tanah.

Tak kehabisan akal ia pun mengambilkan kayu bakar di dapur dan melempari ayam-ayam itu agar pergi. Meskipun berhasil mengusir namun tak berapa lama ayam-ayam itu kembali dan mulai menghabiskan gabah mereka. Putroe Nie kembali melemparinya sampai kayu bakar di dapur mereka habis. Kayu-kayu itu berserakan di halaman rumah. Putroe Nie merasa lega karena sudah berhasil menghalau ayam-ayam memakan gabah mereka.

Haripun semakin sore namun ibunya belum juga pulang. Langit semakin mendung dan hujan mulai turun. Putroe Nie kebingungan, ia tidak tau harus melakukan apa. Jika ia tidak segera memindahkan gabah yang dijemur ibunya, maka bisa dipastikan pesta perkawinannya nanti akan gagal karena semua gabah mereka akan basah terkena hujan. Ia pun khawatir jika ibunya pulang dan melihat gabah mereka terendam, ibunya akan memarahinya.

Akhirnya, Putroe Nie pun turun dan  mengangkat tikar berisikan gabah. Seketika itu gemuruh dan petir menyambar, hujanpun turun semakin lebat dan tanpa henti. Seluruh perkampungan digenangi air dan tenggelam.

Itulah awal kisah dari munculnya rawa-rawa yang kemudian dikenal dengan sebutan Paya Nie. Sebutan “Nie” diambil dari nama Cut Nie.

Type above and press Enter to search.